Suara bising dari klakson
kereta terdengar pada malam hari itu. Warga lalu lalang menuju stasiun untuk
pulang ke tujuan masing-masing, melewati jembatan dengan lebar satu meter.
Jembatan yang memang diperuntukkan untuk pejalan kaki yang ingin menuju stasiun
Tanjung Barat.
Pedagang yang berjualan disana
terlihat sudah tidak muda lagi. Banyak orang ingin masa tuanya dihabiskan
dengan menyiram tanaman di pagi hari, main dengan cucu, bercanda dengan
teman-teman seusia mereka. Namun kadang, rencana manusia tidaklah sebaik
rencana Tuhan.
Ada banyak pedagang-pedagang
yang sudah renta ikut menjajakan berbagai barang. Mereka menjual banyak hal,
mulai dari makanan, buah-buahan, bahkan barang yang sebenarnya sangat berat
untuk mereka bawa dengan fisik yang sudah renta.
Pedagang bukan hanya menempati
di dalam jembatan tetapi juga di bawah jembatan. Di depan halte yang selalu
dipenuhi angkot berbaris yang bersiap menunggu penumpang juga banyak pedagang.
Pedagang di bawah jembatan biasanya menggunakan gerobak yang akan jalan kembali
setelah dagangan mereka tidak terjual atau sepi pelanggan.
Tak jarang ketika melewati
jembatan banyak pedagang berjualan disana. Mereka berharap pejalan kaki yang
lewat disana membeli dagangannya. Setiap kali pejalan kaki melewatinya penjual
pun tak malu untuk menghampirinya untuk sekadar menawarkan apa yang dijual.
Seringkali saya berdempetan
dengan pejalan kaki lain dikarenakan sempitnya jalan di jembatan tersebut.
Bagaimana tidak sempit, para pedagang yang berjualan hampir menggunakan
setengah dari lebar jembatan itu.
Setiap kali saya melewati
jembatan itu tidak habis memikirkan bagaimana rasa lelah mereka yang setiap
hari harus berjualan disana. Dengan malam semakin dingin mereka harus
menahannya demi mendapatkan rezeki untuk keluarganya.
Tak jauh dari para pedagang,
yang membuat hati saya terguncang adalah melihat pengemis tua yang juga sering
mengemis disana. Dengan pakaian yang lusuh ia menjulurkan tangannya sembari
meminta sedekah kepada pejalan kaki yang lewat di depannya.
Walaupun di dalam Peraturan
Daerah tertuang bahwa setiap orang dilarang untuk menjadi pengemis atau
memberikan uang kepada pengemis, tetapi dari hati yang paling dalam kita merasa
empati untuk membantunya dengan memberikan sedekah kepada pengemis tersebut.
Tak jarang pejalan kaki yang lewat pun memberikan sedekah kepadanya.
Sering kali ketika saya
melewati tempat itu, pengemis tersebut sedang tertidur pulas dengan topi yang
diletakkan di sebelahnya dengan keadaan terbuka. Topi tersebut tidak dalam
keadaan kosong, tetapi terdapat sejumlah uang di dalamnya. Pengemis tersebut
memang sengaja meletakkan topi nya dengan keadaan terbuka dengan harapan orang
yang melewatinya memberikan uang ke dalam topinya.
Jika diperhatikan memang
pedagang dan pengemis selalu berdampingan di tempat itu. Sehingga jembatan itu
tidak pernah sepi setiap malam karena adanya pedagang dan pengemis yang berdampingan.
Pedagang dan pengemis pun tidak berganti setiap harinya, selalu sama, seperti
memang mereka sudah lama menempati tempat itu.
Mengemis dan menggelandang
merupakan tindak pidana pelanggaran. Larangan mengemis atau menggelandang
diatur dalam Pasal 504 dan Pasal 505 KUHP maupun di dalam Perda, seperti halnya
di wilayah DKI Jakarta, yaitu dengan Perda DKI 8/2007. Sanksi pidana secara
umum untuk kegiatan menggelandang dan mengemis diatur dalam KUHP, namun
Pemerintah Daerah dapat menetapkan peraturan soal larangan mengemis dan
menggelandang. Untuk DKI Jakarta, sanksi pidana untuk mengemis diatur dalam
Perda DKI 8/2007, bahkan orang yang memberikan uang kepada pengemis juga
diancam dengan hukuman pidana.
Berbeda dengan pedagang yang
dengan usia sudah renta mereka lebih memilih bekerja walaupun fisik sudah
rapuh. Bagi saya, pilihan mereka untuk bekerja jauh lebih baik dibanding
pengemis yang mengemis di tempat itu.